![]() |
ilustrasi. sumber: kompas.id. |
Oleh: Jumardi Putra*
Ramadan bukan sekadar bulan
ibadah ritual, melainkan juga momentum tepat untuk merawat-ruwat tradisi akademik
di kampus maupun komunitas berbasis literasi. Apatahlagi di tengah kondisi
kampus di tanah air dewasa ini menghadapi pelbagai masalah yang telah mencoreng
keberadaannya sebagai benteng penjaga moralitas dan nilai-nilai akademik yaitu seperti
plagiasi, jual-beli gelar akademik, joki skripsi/tesis/disertasi, makelar
jurnal predator, dan praktik korupsi. Potret buram itu jelas bertolak belakang
dengan nilai-nilai yang tumbuh sekaligus berkembang dalam tradisi kecendiakaan.
Segendang sepenarian, upaya mendiskusikan
hasil penelitian maupun buku-buku bermutu--di tengah tsunami konten-konten unfaedah yang berseliweran di pelbagai platform media sosial sekarang ini,
sehingga sesiapa saja berpotensi terkena penyakit “busuk otak” (brain rot)--adalah
pilihan gerakan yang perlu disokong. Saya secara pribadi selalu merasa antusias
mengetahui setiap individu, komunitas, kampus dan atau lembaga apapun dan di
manapun berada, yang masih bersetia mendiskusikan hasil penelitian maupun
membedah buku-buku bermutu melalui pelbagai medium interaktif baik secara online maupun offline.
Ambil misal, LPPM UIN STS Jambi, terhitung sejak pandemi Covid-19, boleh dikata salah satu kampus terbesar di Provinsi Jambi yang berusaha konsisten menghadirkan ruang diskusi lintas dispilin keilmuan, terutama pilihan mereka menggunakan fasilitas zoom meeting (bukan high level meeting ala instansi pemerintah-antah berantah itu loh ya..), sehingga bisa menjangkau banyak peminat kajian keilmuan dari pelbagai daerah di tanah air, bahkan mungkin luar negeri.
Berbekal
tema “ora umum” seraya menghadirkan narasumber mumpuni baik dari internal maupun
eksternal kampus melalui diskusi secara daring, mereka sampai saat ini
setidaknya berhasil menghadirkan arena pengetahuan yang perlu ditilik lebih
jauh, terutama efektifitasnya dalam rangka mensemestakan gagasan
akademik--sekaligus secara tidak langsung berfungsi sebagai autokritik ke dalam
internal kampus sendiri--suatu gejala umum yang diutarakan banyak pemerhati pendidikan
yakni para akademisi di kampus-kampus sekarang ini terjebak dalam kerja-kerja administratif ketimbang bertungkus lumus mengejawantahkan tridharma perguruan
tinggi. Begitu juga pilihan mereka menganggit topik diskusi berbasis hasil
penelitian dosen dari internal kampus, khususnya bersinggungan dengan tema lokalitas
Jambi-sesuai dengan konsentrasi keilmuan bercorak perguruan tinggi Islam.
Topik atau tajuk diskusi daring yang diketengahkannya sejauh ini menarik perhatian saya. Sebagai kampus berbasis studi keislaman, itu tidak lantas membuat penyelenggara terjebak dalam dikotomi diskursus seputar agama ansikh. Cara demikian tepat agar bisa menjangkau banyak kalangan yang notabene bisa datang dari pelbagai lintas disiplin keilmuan maupun pelbagai latar belakang kampus dan komunitas. Warna-warni wicarana yang dibentangkan itu sekaligus menjadi arena pengenalan karya-karya akademisi internal kampus UIN STS Jambi kepada pihak luar. Pola demikian diharapkan menemukan relevansinya dengan dinamika wacana pengetahuan yang tumbuh dan berkembang di luar--melampaui sekat-sekat pagar universitas dalam konteks lebih luas.
Beberapa topik diskusi yang mereka tawarkan selama Ramadan 1446 Hijriah (2025 Masehi) yaitu antara lain bertajuk Harapan, Dilema dan Pergulatan: Menjaga Api Pendidikan di Indonesia karya peneliti BRIN Anggi Afriansyah, Terjemahan Al-Qur'an Kaum Reformis karya Prof Jajang A. Rohmana, Manusia Baru Indonesia: Nyoto dan Visi Bangsa yang Baru Merdeka karya sejarahwan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Sekolah lah Tinggi-tinggi: Perjalanan 14 Perempuan Mengejar Cita ke Empat Benua (salah satunya karya Noor Ismah, peneliti Asia Research Institute (ARI-NUS) di Singapura, Muda dan Anti Bid'ah: Penyebaran gagasan Salafi di Kalangan Anak Muda karya Arfan Aziz, Sahmin dan Oktaviani Putri, Salafisme dan Politik Penyuntingan Kitab, dan Peluncuran 5 buku Terbitan Sutha Press yaitu Muda dan Anti-Bidah (Arfan-Oktaviani), Simulakra Islam (Mohd. Arifullah-M. Rusydy), Nalar Politik Hukum Islam (Bahrul Ulum), 99 Mantra Kata (Dion Ginanto), Historia (M. Iqbal Rahman), dan Catatan Hening (M. Iqbal Rahman).
Terbesit di pikiran saya, “sejauhmana kontribusi Sutha Press di antara penerbit Perguruan Tinggi Islam lainnya di tanah air dalam memproduksi pengetahuan keislaman?” Mampukah naskah buku keluaran Sutha Press bersaing dengan produk penerbitan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTKIN) lainnya di Indonesia meliputi Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Pertanyaan itu mengandaikan pandangan sekaligus sikap yang menjunjung nilai-nilai akademik di balik kerja penerbitan bercorak perguruan tinggi Islam.
"Nah, sudahkah itu menjadi kenyataan di kalangan Sutha Press sejak kelahirannya hingga saat ini?"--sebuah pertanyaan yang bisa jadi penting dicakap-renung kembali.
Kembali ke awal. Pilihan mendiskusikan hasil
penelitian maupun buku-buku bermutu--salah satu program yang ditaja LPPM UIN
STS Jambi--mengingatkan saya pada langkah mini sebagian kaula muda yang
tergabung di dalam Ngota Buku Community sebelas tahun yang lalu (2014). Ngotabuku Community adalah forum bincang buku rutin yang digelar
oleh beberapa anak muda di Kota Jambi-gabungan dari mahasiswa, jurnalis dan
dosen-dosen muda dari pelbagai kampus di Jambi. Forum itu bebas diikuti siapa saja dan tanpa undangan resmi.
Buku-buku yang diperbincangkan menyentuh banyak disiplin ilmu, sebut saja
filsafat, ekonomi, politik, sastra dan hukum.
Syarat keikutsertaan dalam forum buku
itu tidaklah rumit. Cukup datang ke Let's Rock Café di Jalan Prof. H. M. Amin
atau alternatif tempat lainnya--genah yang disepakati untuk berkumpul dengan kepala
terisi bahan bacaan yang memadai. Forum itu dibuat terbuka dan siapa saja
dipersilakan mengusulkan buku yang akan dibincangkan sekaligus pemantiknya.
Beberapa buku yang sempat dibedah kala itu, antara lain Filsafat
Politik karya Henry J. Schmandt, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas
karya Aimee Dawis, Demokrasi La Raiba Fih karya Emha Ainun
Nadjib (Cak Nun), Ibunda karya Maxim Gorki, Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer, World Without Islam karya Graham E. Fuller, Khotbah di Atas Bukit karya
Kuntowijoyo, Trilogi Darah Emas karya Meiliana K. Tansri, Kebebasan, Negara dan
Pembangunan karya Arief Budiman, Menuju Manusia Merdeka karya Ki Hadjar
Dewantara, Manusia Indonesia karya Mochtar Loebis, Orang-orang Proyek karya
Ahmad Tohari, Catatan Seorang Demonstran karya Soe-Hok Gie, Madilog karya Tan
Malaka, dan Animal Farm karya George Orwell. Beberapa judul buku itu didiskusikan
dalam suasana Ramadan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kerja kultural-intelektual yang ditaja oleh LPPM UIN STS Jambi, juga mungkin oleh kampus/lembaga/komunitas senafas lainnya di Provinsi Jambi--selagi masih berkaitan dengan usaha merawat-ruwat tradisi akademik--maka perlu disambut baik. Apa sebab? Laku demikian itu masih sangat kurang di Jambi.
*Jakarta, 18 Maret 2025.
0 Komentar