Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan Ke Mantijeron

Jogja Istimewa. sumber: alodiatour.com

Oleh: Jumardi Putra* 


Selalu ada yang tersisa dari Jogja. Setangkup haru dalam rindu.


Perjalananku hari ini mulai dari Café BasaBasi di Sorowajan, Jomblangan, Banguntapan, Bantul (25/2). Kawasan ini tidak asing bagi saya sejak 22 tahun yang lalu, terutama warung kopi Blandongan dan beberapa café di sekitarnya, tidak jauh dari BasaBasi sekarang. Bukan kebetulan pula di tempat ini sedang berlangsung bazar buku beberapa lini penerbitan Diva Press Group. Jadilah ini momen bagi saya mencari buku-buku bermutu dengan harga terjangkau.

Usai 1 jam lebih berburu buku, saya bersama Ade Saputra melanjutkan perjalanan menuju kantor LPM ARENA: Kancah Pemikiran Alternatif di gedung Student Center (SC) kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di Arena saya bercakap-cakap sekaligus bernostalgia dengan redaksi Arena yang belum lama ini merayakan usianya ke 50 Tahun-lintasan waktu yang panjang-dengan segala pernak-perniknya.

Menimbang kampus UIN Sunan Kalijaga tidak jauh dari tempat kos plus warung tegal (Warteg) kesukaan saya semasa mahasiswa, saya pun mengajak Ade melipir sebentar ke Kawasan kampus II Institut Pertanian (INSTIPER) Yogyakarta di jalan Petung, Papringan. Meski banyak perubahan saya saksikan di kawasan ini, tapi itu cukup untuk melepas dahaga kerinduan saya pada daerah ini, di mana dahulu saya pernah tinggal, meski akhirnya berpindah-pindah dari satu kos ke kos lainnya selama tujuh tahun di Jogja.

Penulis di LPM Arena

Setelah dirasa cukup menyusuri jalan Petung-Papringan, saya dan Ade Saputra melanjutkan perjalan sore hari itu ke jalan Sudirman, tepatnya singgah di toko buku Toga Mas, berjarak hanya sepelemparan batu dengan kantor Harian Kompas Jogja dan Bentara Budaya. Hampir sejaman kami di toko ternama ini-cabang dari toko buku utama Toga Mas beralamat di Jalan Gejayan Nomor 5 Condong Catur Depok, Sleman (25/2).

Matahari masih bungah pada jam lima sore yang sinarnya membuat silau. Saya pelankan laju motor dan mengulur jarak dengan kendaraan di depan. Saya berusaha menikmati suasana sore mulai dari gedung Mandala Bhakti Wanitatama, jalan Laksda Adisucipto hingga Tugu Jogja di Perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Pangeran Mangkubumi Yogyakarta. Kepada Ade Saputra saya menceritakan perubahan yang terjadi di ruas jalan utama ini dibandingkan suasana 22 tahun lalu ketika saya mukim di kota pendidikan ini.

Bersamaan datangnya waktu senja, Ade mengajak saya singgah di salah satu angkringan, tidak jauh dari gedung kantor Kedaulatan Rakyat Jogja, koran lokal legendaris di kota ini. Galibnya di angkringan, sebelum santap, baik Ade maupun saya terlebih dahulu memilih beberapa menu seperti tempe, sate ayam, bakso ayam, usus dan hati ampela ayam, dan telur puyuh untuk dibakar, melengkapi sego kucing-sebagai ciri khas utama angkringan. Sego kucing? Itu istilah untuk menyebut nasi bungkus dibalut daun pisang yang porsinya sedikit (porsi kucing), sehingga diperlukan 2 atau 3 porsi untuk bisa kenyang. Jenis sego kucing itu antara lain nasi sambal telur orak-arik, oseng tempe, sambal teri, sambal belut, dan mercon ayam.

Di angkringan ini waktu terasa melambat, seolah memberi kesempatan bagi saya mengingat kembali sudut-sudut penuh kenangan dari kota ini. Angkringan ketika itu menurut saya bukan semata urusan perut (dagang), melainkan ruang budaya yaitu tempat segala hal, mulai dari perkara remeh temeh sampai ke hal-hal serius dipercakapkan dengan santai dan penuh canda. Ringkasnya, sebagai ikon kuliner, angkringan menjadi tempat orang berkumpul, berdiskusi, dan bercengkerama, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Makan di Angkringan dekat kantor KR Jogja

Kini, angkringan mudah dijumpai di banyak kota di tanah air. Di Kota Jambi sendiri, tempat saya tinggal sekarang, terdapat beberapa angkringan, sesekali menjadi tempat bagi saya sekeluarga dan beberapa teman sejawat menikmati menu makanannya yang khas, berbeda dengan warung lesehan yang menjamur di Kota Jambi.

***

Tenaga masih cukup setelah seharian menyusuri tempat-tempat yang tergapai di jantung kota Jogja. Saya tancap gas menuju sebuah toko buku unik-berisi ribuan buku berbagai genre-seperti novel, sejarah, politik dan lainnya-umumnya berbahasa Inggris, belanda dan jerman. Tempat ini bernama Kebun Buku yang berada di Jalan Minggiran No.61A, Suryodiningratan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Berbekal Google Maps, kami pun tiba di destinasi buku ini sekira pukul 18.45 WIB. Ini kali pertama bagi kami mengunjungi tempat ini sehingga beralasan untuk mengetahui seluk-beluk di balik suasana bangunan rumah jaman dulu yang dikelilingi oleh tanaman hijau.

Kebun buku ini berada di sebuah rumah lantai dua dengan bangunan lama yang dialih fungsikan sebagai perpustakaan dan cafe. Furnitur yang digunakan oleh Kebun Buku pun masih sama dan tidak berubah dari sekian waktu, sehingga membuat suasana rumah ini menjadi hangat dan nyaman bagi pengunjung.

Kebun Buku Jogja

Dari genah parkir saya melihat beberapa pengunjung tengah asyik berbincang-bincang. Usai “kulo nuwun” kami langsung menuju dua ruangan setelah ruang utama yang berfungsi sebagai galeri dan café. Pada dua ruangan di lantai satu di kebun buku ini saya maupun Ade menikmati ribuan koleksi buku. Bukan kebetulan pula di waktu yang sama sedang berlangsung pameran seni di tempat ini.  

Tak dinyana, sang empu kebun buku ada di antara para pengunjung malam itu yakni Hans Knegmants, seorang warga Belanda, biasa disapa Pak Hans. Tubuhnya ramping menjulang tinggi. Usianya telah menempuh separuh hidup. Saya sempat bercakap-cakap dengan pria jangkung itu, terutama hal ihwal sejarah berdiri kebun buku. Mulanya tempat ini bernama Kebun Bibi, tepatnya pada Januari 2015. Kebun Bibi ini mulanya diperuntukkan sebagai Galeri ruang pajang karya untuk para seniman. Pilihannya membuat galeri dan café dilandasi kecintaan pak Hans pada seni dan budaya.

Sebelum bermastautin di Jogja, pak Hans telah beberapa kali mengunjungi Bali dan kota Medan, Sumatera Utara. Akhirnya, ia mantap memilih tinggal di Jogja, sembari bolak-balik pulang ke Belanda enam bulan sekali setiap tahun.

Berjalannya waktu, Januari 2020 Kebun Bibi berubah menjadi Kebun Buku. Pak Hans ingin memperluas “rumahnya” itu menjadi tidak sekadar ruang pamer karya seni, walakin juga menyediakan buku-buku impor. Buku-buku itu bisa dibaca dan dijual bagi pengunjung yang berminat membeli.

Penulis bersama Pak Hans Knegmants

“Ribuan buku di sini dari mana”? tanya saya ke pak Hans

“Saya sendiri mencari buku-buku yang layak baca di Belanda, lalu mengirimkannya ke Indonesia”, imbuhnya.

Saya pun menjadi paham musabab koleksi buku-buku di sini kebanyakan berbahasa Belanda, beberapa Inggris, dan sedikit Jerman. Selain itu, kebun Buku memiliki agenda rutin yaitu pameran seni dan diskusi mengenai buku-buku tertentu. Tersebab bangunannya berdiri di area kampung, membuat pengunjung cafe dan perpustakaan ini tidak bisa menampung banyak orang, karena kenyamanan selama beraktivitas di Kebun Buku menjadi faktor utama.

Tidak terasa hampir satu jam lebih kami melihat-lihat koleksi keren milik kebun buku, selain tentu saja menikmati karya seni yang dipamerkan di sini. Kami pun pamit kepada Pak Hans dan beberapa pengunjung lainnya, lalu pulang ke hotel tempat kami menginap selama di Jogja. 

Demikian. Begitu banyak tempat menarik di Jogja yang ingin saya datangi kali ini, tapi begitu sedikit waktu.

 

*Kota Jambi, 8 Maret 2025.

*Tulisan di atas merupakan bagian keempat dari tulisan saya sebelum ini yaitu  (1) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja, (2) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah, dan (3) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron.

0 Komentar