Semilir Angin di Puncak Menara Syahbandar Sunda Kelapa

Kompleks Menara Syahbandar, Jakarta Utara. Dok. Penulis

Oleh: Jumardi Putra*

Hawa panas Jakarta terasa menyengat di kulit (13/12). Jarum jam menunjukkan angka 12.39 WIB. Saya bergegas menggunakan gojek menuju Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan No.1, RT.11/RW.4, Penjaringan, Kec. Penjaringan, Kota Jakarta Utara, dari arah tempat saya menginap di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Ini pertama kali saya ke museum yang secara khusus memajang artefak yang berkaitan dengan pelayaran dan maritim di Indonesia. Menyeruap rasa haru dalam diri saya setiba di lokasi bersejarah ini, setelah menembus kemacetan jalanan Ibukota hampir satu jam.

Usai membayar tiket masuk seharga 5.000 di loket, saya menghadap ke arah dua bangunan lama yaitu Menara Sinyal dan Menara Syahbandar. Wajah kedua bangunan itu telah uzur, walakin memancarkan aura kegemilangan masa silam. Tidak ada pengunjung yang tampak keluar atau masuk di pintu menara setinggi 18 meter itu. Hanya ada beberapa petugas satpam dan tukang bersih-bersih di sekitar pelataran.

Sebelum memasuki kedua bangunan itu, saya terlebih dahulu menunaikan shalat zuhur di sebuah langgar yang berada di dekat kedua menara tersebut. Usai shalat dan sejenak rebahan melepas penat, saya melanjutkan langkah kaki menyusuri dua bangunan Menara yang merupakan titik nol meridian utama yakni tempat penting untuk pengukuran waktu dan navigasi di masa lampau. Titik nol meridian Batavia merupakan garis bujur nol yang sangat diperlukan sebagai acuan berlayar pada masa perdagangan di kawasan Sunda Kelapa.

Atas petunjuk petugas museum, saya pun memasuki menara Syahbandar yang dibangun sekitar 1839. Hampir seluruh bangunan Menara ini didominasi oleh unsur kayu-kayu jati yang masih kokoh, meskipun sudah sangat berumur. Isi dalam bangunan menara itu didominasi oleh unsur batu dan terdapat prasasti China yang menjadi penanda titik nol meridian utama pelayaran kapal era kolonial Hindia Belanda di Indonesia.

Puncak Menara Syahbandar Kompleks Museum Bahari

Secara fisik, menara Syahbandar paling menjulang di antara bangunan lainnya di kompleks Museum Bahari. Dulunya, bangunan vital ini berfungsi sebagai menara pemantau kapal-kapal yang keluar masuk Kota Batavia. Tersebab letak menara yang persis di tepi jalan membuat getaran kendaraan yang melintas merambat di telapak kaki saat melangkah berada di dalam bangunan kuno itu. Itulah kenapa menara ini juga kerap dijuluki "Menara Goyang".

Sesampai di puncak Menara, hembusan semilir angin meniup bendera merah putih yang berkibar di samping Menara. Saya betul-betul menikmati suasana di puncak Menara itu, sembari mencermati pajangan foto-foto jadul tentang geliat Pelabuhan Sunda Kelapa di masa lalu. Bahkan, imajinasi saya ikut terbawa mengingat kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels pada masa Hindia-Belanda kala itu.

Setelah hampir satu jam berada di Menara Syahbandar, saya pun melanjutkan ke museum bahari yang berjarak sekitar 50 meter dari Menara Syahbandar. Berdasarkan keterangan yang terpampang di dinding museum bahari, bangunan ini didirikan di bekas komplek gudang milik Hindia Belanda di tepi Sungai Ciliwung. Bagian tertua dari museum ini mulai dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Christoffel van Swoll.
Penulis di Museum Bahari

Komplek gudang ini terbagi menjadi dua bagian. Westzijdsche Pakhuizen atau komplek gudang sisi barat yang dibangun antara tahun 1652 hingga 1771. Bagian lainnya adalah Oostzijdsche Pakhuizen atau komplek gudang sisi timur. Gudang-gudang di sisi barat terdiri dari empat bangunan, tiga di antaranya kini digunakan sebagai bagian dari museum.

Di Museum ini saya melihat langsung berbagai koleksi langka, termasuk meriam VOC, koleksi rempah-rempah Nusantara, dan rangka perahu Phinisi (pada 7 Desember 2017, UNESCO menetapkan kapal Pinisi sebagai warisan budaya dunia). 

Selain itu, museum Bahari juga menampilkan perlengkapan pelayaran seperti jangkar, teropong, alat navigasi, model mercusuar, dan koleksi biota laut dan ikan dari perairan Indonesia, serta sejarah adat istiadat masyarakat nelayan Nusantara.

Museum Bahari ini terbagi menjadi tujuh area, mencakup Ruang Masyarakat Nelayan Indonesia, Ruang Teknologi Menangkap Ikan, Ruang Teknologi Pembuatan Kapal Tradisional, Ruang Biota Laut, Ruang Pelabuhan Jakarta 1800–2000, Ruang Navigasi, dan Pelayaran Kapal Uap Indonesia–Eropa.

*Jakarta, 15 Desember 2022.


*Berikut penggalan catatan perjalanan saya lainnya ke tempat-tempat bersejarah di Jakarta:

0 Komentar